LOVE CODE
Cinta. Sesuatu yang selalu
didambakan tetapi sulit diungkapkan. Sesuatu yang selalu dinanti tetapi sulit
dipahami. Begitulah cinta. Ketika kalimat “I love you“ tak bisa diungkapkan
dengan tutur kata, ketika rasa ingin memilki terpendam dalam hati, hanya angan
dan harap yang tersisa. Menyatakan cinta secara langsung memang tidak mudah.
Lalu bagaimana dengan menyatakan cinta secara tidak langsung? Tentu menjadi
mudah berkat adanya mading a.k.a majalah dinding sekolah.
Sudah sebulan lebih kegiatan mading
sekolah “Love Day” berjalan dengan baik. Love
Day jatuh setiap hari Senin. Mengapa Senin? Karena Senin adalah hari
pertama memulai kegiatan sekolah. Alangkah indahnya jika hari pertama sekolah
diawali dengan penuh cinta. Setiap senin di depan ruang sekretariat mading
sekolah disediakan kotak bertuliskan “Love Box”. Kotak itu berguna untuk menampung
surat cinta dari para murid seantero sekolah. Surat harus dimasukkan dalam
amplop dengan mencantumkan nama dan kelas penerima surat. Surat-surat itu nanti
akan diantarkan ke tujuan oleh petugas pengantar surat yaitu anggota mading sendiri.
“ Retha! Tumben pagi-pagi gini
udah dateng.“ seru Randy – menghampiri Retha yang terlihat sibuk memeriksa isi Love Box.
“ Eh, Randy! Iya nih. Kan Senin
ini tugas gue nganter surat. Lo sendiri? Ngapain dateng jam segini? tanya Retha
menyelidik.
“ Hm. Mau bantuin lo, Tha. Hehe.
“ ujar Randy tersipu malu.
“ Haha bisa aja lo, Ran. Thanks
ya.”
Tumpukan surat di pagi hari itu
cukup banyak – hampir mencapai setengah kotak. Tampaknya semakin banyak murid yang
jatuh cinta setiap minggunya. Retha yang dibantu Randy memeriksa surat itu satu
per satu di dalam ruang sekretariat mading. Untuk mempermudah proses
pengantaran surat, surat-surat itu dikumpulkan berdasarkan kelas. Retha tampak fokus
membaca nama penerima surat. Di sisi kanan meja terlihat sekumpulan surat –
sekitar 5 atau 6 surat – yang ditujukan untuk seseorang yang sama. Seseorang
itu selalu menjadi pemegang rekor penerima surat terbanyak setiap minggunya. Ia
lah Fadli – anak ekstrakulikuler basket sekolah yang terbilang tampan, cool, dan berperawakan tinggi. Bukan hal
yang biasa jika ia punya banyak penggemar – termasuk Retha.
Retha masih fokus memeriksa satu
per satu surat sementara Randy justru fokus memperhatikan Retha. Tiba-tiba
Retha terkejut. Pandangan matanya terfokus pada satu surat bertuliskan “Untuk
Maretha – XI IPA 1“. Secepat mungkin ia menyembunyikan surat itu ke dalam saku
roknya.
“Ada apa, Tha? Tiba-tiba kaget
gitu? “ tanya Randy heran melihat ekspresi wajah Retha yang mendadak berubah.
“Hm. Ga ada apa-apa kok, Ran.
Yuk ke kelas. Udah jam 7 nih. Bentar lagi pasti bel bunyi.“ jawab Retha sambil
tergesa-gesa memasukkan kumpulan surat ke dalam tasnya.
***
Di dalam kelas, semua murid
tampak serius memperhatikan Pak Guru yang sedang menjelaskan materi Geografi.
Sementara Retha justru serius membaca surat yang diterimanya tadi pagi. Surat
itu hanya berisi huruf dan angka “C.3.111.12.6-8”. Retha mengernyitkan dahi
sambil sesekali melamun memikirkan maksud huruf dan angka itu.
“ Dor! Ngelamun aja daritadi,
Tha. Eh? Kertas apaan tu? “ seru Sherill – teman sebangku Retha –membuyarkan
lamunan Retha.
“ Ssst, Sher. Jangan ngomong keras-keras. Ini
surat. Gue dapet tadi pagi dari Love Box.
Tapi isinya aneh. “ jawab Retha terus terang.
“ Ciyeee. Dari siapa tu? Coba
liat.”
“ Dia ga nulis namanya, Sher.
Coba deh liat nih. “ Retha langsung
memberikan surat itu pada Sherill.
“ Hm. Semacam kode gitu ya.
Bikin penasaran aja. Dari Randy kali, Tha. Dia kan suka sama lo.”
“ Ah masa. Tadi pagi kan Randy
sama gue. Dia dateng setelah gue. Kapan dia masukin suratnya? “ gumam Retha.
“ Bisa aja sebelum lo dateng
ternyata si Randy udah dateng duluan.Terus dia pura-pura dateng setelah lo,
biar ga ketauan. Gimana sih lo, Tha, gitu aja ga tau.“ gerutu Sherill.
Dua jam berlalu. Sepanjang
pelajaran, Retha hanya melamun. Apa mungkin Randy yang menulis surat itu? Kalo
bukan Randy, lalu siapa? Lamunan itu tiba-tiba dibuyarkan oleh bunyi bel tepat
pukul 9 – pertanda jam istirahat pertama. Retha bergegas mengantarkan
surat-surat cinta yang diambilnya tadi pagi. Surat pertama yang ia antarkan
adalah untuk sang pemegang rekor penerima surat terbanyak – Fadli.
***
Dengan langkah sedikit berat, Retha menghampiri kelas Fadli –
XI IPS 3 – yang berada di lantai dua. Sesampainya di depan pintu kelas, ia langsung
meletakkan surat-surat itu di meja paling depan dekat pintu. Ia lalu bergegas
pergi. Belum sempat beranjak pergi, langkah kakinya terhenti.
“ Surat buat gue? Sebanyak ini?
“ tanya Fadli.
Retha sontak membalikkan tubuh –
berhadapan dengan Fadli. “ Iya. Itu semua buat lo. hehe.”
“ Wow! Thankyou! Oiya. Gue
Fadli.” seru Fadli sambil mengulurkan tangan kanannya.
“ Gue Maretha. Panggil aja
Retha. “ tanpa ragu Retha menyambut tangan Fadli.
“ Nama yang bagus. “ ujar Fadli
yang terlihat sangat cool dari jarak sedekat itu.
“ Hehe. Gue pergi dulu ya.
Nganter surat lainnya. “ ujar Retha yang tidak mau lama-lama terperangkap oleh pesona
Fadli.
“ Oke. See you.”
Langkah kaki Retha semakin berat
– berat meninggalkan Fadli lebih tepatnya. Jantungnya tiba-tiba berdegup
kencang dan semakin kencang. Aliran darahnya berdesir cepat. Pikirannya hanya
diisi oleh bayang-bayang Fadli. Hatinya dipenuhi nama Fadli. Tanpa terasa
senyuman lebar menghiasi wajahnya. Langkah kakinya kini menjadi ringan. Seolah
sayap-sayap kecil tumbuh dan siap membawanya terbang bebas. Ia jatuh cinta.
Langkah ringan Retha mendadak
terhenti di depan perpustakaan sekolah. Ia teringat ingin meminjam sebuah buku.
Retha memang terbilang kutu buku. Hobinya membaca segala macam buku sejak kecil
membuatnya rajin mengunjungi perpustakaan. Ia pun bergegas mencari buku di
rak-rak yang tersusun memanjang berhadapan itu. Segera ia menuju tempat
peminjaman buku setelah menemukan buku yang diinginkannya. Saat bapak
pustakawan mencatat nomor buku yang dipinjamnya, ia tersadar sesuatu. Nomor
buku itu adalah C.3.115.
“ Maaf Pak, ingin tanya. Maksud
nomor C.3.115 di buku ini apa ya? “ tanpa ragu Retha bertanya soal nomor buku
itu.
“ Oh, itu maksudnya begini, Neng.
Buku ini terletak di rak C barisan ke-3. 115 nya itu nomor urutan buku ini di
dalam rak C.” jelas Pak pustakawan panjang lebar.
“ Oh begitu ya. Makasih, Pak.”
Retha segera membuka surat
misteriusnya. Ia bergegas mencari buku bernomor C.3.111. Tanpa menunggu waktu
lama, ia langsung menemukan buku yang ternyata berjudul “Angan dan Harapan”
itu. Ia pun segera meminjam buku itu. Mengingat ia masih memiliki tugas mengantar
surat sehingga ia tidak punya banyak waktu untuk membaca buku itu di
perpustakaan. Terpaksa ia memanfaatkan lagi waktu pelajaran di kelas untuk
memecahkan kode di surat misteriusnya.
***
“ Sher! Liat nih buku yang baru
aja gue pinjem! “ bisik Retha ke telinga Sherill.
“ Hm. Apa bagusnya tu buku? “
tanya Sherill heran.
“ Liat nomor bukunya, Sher! Itu
C.3.111. Liat nih surat, kode depannya sama! C.3.111 juga! “ seru Retha.
“ Ssttt. Jangan keras-keras
ngomongnya. Ayo kita buka bukunya. Hm, kode lanjutannya berarti 12.6-8. Apa ya?
“ gumam Sherill yang tampak mulai antusias memecahkan kode itu.
“ Hm. Halamannya mungkin, Sher!
Coba kita buka halaman 12! “ seru Retha yang semakin antusias.
“ Duh. Halaman 12 tulisan semua
isinya. 6-8 itu baris kali ya maksudnya. Nih coba lo baca baris ke 6 sampe 8,
Tha.”
Retha segera membaca kalimat
pada baris ke-6 sampai ke-8 di halaman 12 itu. Wajahnya tertegun. Mulutnya tak
mampu terkatup. Rangkaian kalimat itu sungguh menyentuh hati.
“ Menapaki jejak langkahmu yang tersapu oleh waktu. Mengingat senyummu
yang terbingkai dalam alunan lagu. Sungguh saat itu ku sangat ingin bertemu
lagi denganmu. Kukira ini hanya angan belaka. Tak ku sangka kini harapan itu
menjadi nyata. “
Senin di minggu berikutnya,
Retha kembali mendapatkan surat berisi kode yang kali ini tidak lagi misterius
baginya. Kode di dalam surat pagi itu tidak jauh berbeda dengan surat
sebelumnya. Kode bertuliskan G.5.50.25.12-14 tepat menunjukkan nomor rak, nomor
baris dalam rak, dan nomor buku di perpustakaan. Tanpa ragu lagi, Retha
bergegas menuju perpustakaan. Diambilnya buku yang ternyata berjudul “Kamu”
lalu dibacanya dengan segera. Sambil duduk santai di pojok ruang baca, ia
membuka lembar demi lembar buku itu menuju halaman 25. Pandangan matanya
terfokus pada baris ke-12 hingga ke-14.
“ Bagaimana bisa denyut nadi ku tiba-tiba berdenyut cepat. Bagaimana
bisa nafasku mendadak sesak. Bagaimana bisa di setiap sudut ku memandang hanya ada
dirimu. Kamu. Selalu kamu.”
Retha kembali terenyuh oleh
rangkaian kalimat yang menyentuh hati. Rasa penasaran semakin menghantui
dirinya. Siapakah sebenarnya pengirim surat itu?
***
Senin di minggu ketiga, Retha
membuat strategi untuk mencari siapa pengirim surat yang diterimanya dua minggu
berturut-turut itu. Ia sengaja bersembunyi di dalam ruang sekretariat dan sesekali
mengintip ke arah Love Box melalui
jendela. Lalu lalang para murid yang memasukkan surat ke dalam Love Box cukup ramai pagi itu. Saat situasi
terlihat sepi, Retha segera bergegas memeriksa isi Love Box. Sayangnya, tak ada satupun surat yang ditujukan
kepadanya. Ia kembali menunggu hingga beberapa menit berlalu.
“ Retha? Ngapain lo
ngintip-ngintip gitu? Pintu ditutup lagi. Gue kira ga ada orang di dalem. “
seru Randy mengagetkan Retha.
“ Eh, Randy. Iseng aja liat-liat
keluar. Hehe. Tumben lo dateng sepagi ini? “ jawab Retha mengalihkan
pembicaraan.
“ Kan senin ini tugas gue
nganter surat, Tha. Mau bantuin? Hehe. “
“ Oke. Gue ambil surat-surat di Love Box ya. “
Retha bergegas menuju Love Box. Ia dan Randy bersama-sama memeriksa
satu per satu surat itu. Mereka terlihat fokus mengelompokkan surat-surat itu
berdasarkan kelas. Mata Retha tiba-tiba terbelalak. Ia menemukan surat yang
ditujukan kepadanya. Surat dengan amplop yang sama bertuliskan “Untuk Maretha –
XI IPA 1”. Secepat kilat ia menyembunyikan surat itu di dalam saku rok nya. Tak
kuasa menahan rasa penasarannya, ia ingin membaca surat itu secepatnya.
“ Ran. Gue ke kelas dulu ya. Si
Sherill nyariin gue. Nanti pas istirahat gue bantu anter suratnya. “ ujar Retha
mendadak ingin pergi.
“ Oh oke. Oiya, Tha. Nanti
pulang sekolah jam 3, jangan lupa nonton
pertandingan basket ya. Kelas gue lawan XI IPS 3. Hehe.” sahut Randy sebelum
Retha beranjak pergi.
“ Oke. Sip. “ balas Retha
tersenyum.
Setibanya di kelas, Retha
langsung membuka surat itu. Surat berisi kode yang serupa dengan kode-kode
sebelumnya. Kode kali itu bertuliskan “B.1.77.24.3-5”. Tanpa ragu dan berpikir
panjang, Retha bergegas menuju perpustakaan. Ditemukannya buku berjudul Cinta
Pertama. Segera ia buka halaman ke 24 buku itu. Pandangan matanya terfokus pada
baris ke-3 hingga baris ke-5.
“ Ketika cinta pertama sulit terlupakan. Sebuah pengakuan sulit
kuungkap. Sebuah pernyataan pun sulit kutulis. Hingga tiba waktunya, sungguh ingin ku buat
itu menjadi mudah”
Tanpa sadar, Retha melewatkan
satu pesan yang tertulis di sudut kanan bawah surat. Pesan itu bertuliskan “Lapangan
3”. Rasa penasaran Retha semakin memuncak. Segala dugaan bermunculan satu per
satu dalam pikirannya. Lapangan? Mungkin yang dimaksud adalah lapangan basket
yang memang sering digunakan. 3? Apakah angka ini menunjukkan jam? Retha seketika
teringat Randy yang memintanya untuk menonton pertandingan basket sore nanti
jam 3. Dugaan Retha kini jelas tertuju hanya pada Randy.
***
Pertandingan basket sore itu berlangsung seru. Retha dan Sherill menyaksikan pertandingan dari balkon lantai dua.
Pandangan mata Retha tertuju pada Randy. Sesekali matanya juga tertuju pada
seseorang dari tim lawan kelas Randy – Fadli. Segala pemikiran aneh tentang apa
yang akan dilakukan Randy nanti mulai berkecamuk dalam pikiran Retha. Tak
disangka waktu berlalu begitu cepat. Semakin berlalunya waktu, semakin kencang
degup jantung Retha.
Pertandingan pun usai. Tim kelas
Fadli mengalahkan tim kelas Randy dengan skor yang berbeda tipis. Siapa yang
menang siapa yang kalah sebenarnya tidak menjadi masalah bagi Retha. Yang
menjadi masalah adalah apa yang akan dihadapinya setelah ini. Sambil menunduk,
ia menghela nafas panjang. Belum sempat selesai menghela nafas, tiba-tiba
seantero sekolah berteriak histeris.
“ Tha! Tha! Tha! “ seru Sherill
sambil mengguncang tubuh Retha.
Tubuh Retha seketika membeku.
Matanya terbelalak. Mulutnya tak mampu terkatup. Sebuah spanduk merah sepanjang
2X1 meter bertuliskan tinta perak berkilau “I LOVE YOU MARETHA!!!” tergeletak tepat
di tengah lapangan. Sontak seantero sekolah menyerukan nama Maretha dan
memintanya untuk turun ke lapangan. Kaki Retha mendadak lemas. Dengan langkah
yang berat, ia menapaki tangga turun menuju lapangan.
Tulisan “I LOVE YOU MARETHA!!!” tampak
berkilau berkat terpaan sinar matahari di sore hari yang masih terik. Retha
dengan malu-malu memberanikan diri melangkahkan kaki mendekati spanduk itu. Teriakan
histeris seantero sekolah semakin menggila. Tanpa sadar, seseorang muncul dari
balik punggung Retha.
“ Halo Maretha! “ sapa seseorang
tiba-tiba.
Retha sontak membalikkan
tubuhnya. Jantungnya masih berdegup kencang – bahkan kali ini lebih kencang. Di
bawah terpaan sinar matahari, kedua mata Retha dan seseorang itu saling
bertemu. Ekspresi kaget setengah mati tampak jelas di wajah Retha.
“ Fadli??? “ tanya Retha ragu.
“ Iya ini Fadli. Maaf udah bikin
surprise kayak gini. Pasti lo
bertanya-tanya kenapa gue dan kenapa lo. “ ujar Fadli memulai pembicaraan.
“ Hm. Iya. “ gumam Retha yang
tampak kaku – tak mampu banyak bicara.
“ Sadar ga, Tha? Kita berdua
dulu satu SMP. Gue udah suka sama lo dari SMP. And you are my first love.” jelas Fadli terus terang.
“ Hah? “ tanya Retha tak
percaya.
“ Mungkin dulu waktu SMP gue ga
sekeren dan sepopuler ini. Jadi lo ga nyadar keberadaan gue waktu itu. Gue
seneng banget sekarang kita satu SMA. “
“ Oh. Maaf kalo gitu. Gue baru
sadar.” wajah Retha mulai memerah.
“ Gapapa. Sekarang gue cuma mau bilang.
I love you Maretha. Are you gonna be my
girl? “ ungkap Fadli tanpa ragu.
Retha hanya bisa menganggukkan
kepala – pertanda iya. Fadli seketika membelai rambut Retha lalu berteriak
keras “ Gue diterimaaaaaaaaaaaaaaaa! “ Sontak seantero sekolah kembali
berteriak histeris. Senyuman bahagia kini tampak menghiasi wajah Retha dan
Fadli.