In The Lift, We First Meet (3)


Buta


            Malam itu nampaknya ga seperti malam-malam biasanya. Sepinya kamar Karra dan Septi diramaikan oleh cewe-cewe dari kamar lain yang ceritanya mau silaturahmi sekalian bergosip. Di antara cewe-cewe itu terlihatlah sosok Rahma yang kayaknya emang up to date banget masalah gossip. Selain temen sekelas Karra dan Septi, Rahma juga tetangga kamar Karra dan Septi, sering ketemu jadinya. Bedanya nanti, Karra bakal sekelas lagi sama Rahma tapi sama Septi engga.
Rahma: “ Ra, emang ada PR buat besok? “
Karra: “ Ah engga perasaan. Iya kan Sep? Itu kata siapa, Ma? “
Rahma: “ Ini kata si Bima. “
Septi: “ Iya, ga ada kok perasaan. “
Karra: “ Eh cie, sms-an sama si Bima lu, Ma, haha.”
Rahma: “ Kenapa emang? Karra cemburu ya, haha.”
Karra: “ Eh apaan. Enggak ya.”
Septi: “ Eh cie cie jadi ngaco begini. Bima yang mana sih? “
Karra: “ Makanya se-praktikum dong Sep sama kita, haha. “
Septi: “ Iya deh yang samaan, huhu.”
Rahma: “ Haha, kalo Karra ga cemburu sama Bima, berarti cemburunya sama siapa dong? haha.”
Karra: “ Ya ga sama siapa-siapa lah, Ma.”
Rahma: “ Yah, hm, sama Akbar aja deh ya, haha.”
Karra: “ Eh apa deh, Ma, tambah ngaco.”
Rahma: “ Hm, siapa lagi ya, Wira? Eh tapi udah punya cewe si Wira.”
Septi: “ Ga tau gue mereka-mereka itu. Gue dukung-dukung aja deh, Ra, haha.”
            Jeblak! Tuh kan, Wira udah punya cewe. Karra jadi galau deh, mikir-mikir dua kali masalah perasaan positif dia. Sepertinya Karra mau belajar nahan perasaan dan rasa penasarannya deh. Suka sama cowo yang udah punya cewe itu bakal resiko banget. Apa Karra bisa? Bisa ga jadi suka maksudnya.

*****

            Keesokan paginya, seperti biasa dimulai lagi ritual kuliah. Kali ini ruang kuliahnya cukup sangat terjangkau, ga perlu naik bis, ga perlu jalan kaki jauh, dan ga perlu dikejar-kejar anjing juga. Waktu udah jam delapan teng, dosennya pun on time, canggih. Karra dan Septi kali ini duduk di barisan agak depan. Awal suasana kuliah itu nampak hening tapi rupanya ga sehening pikiran Karra. Karra terlihat gusar memandang-mandang sekeliling kelas, ke depan, ke belakang. Apa sih yang dicari si Karra? Apa lagi kalo bukan, eh siapa lagi kalo bukan si The King of Norak itu. Itu cowo ga dateng kuliah atau emang bakal dateng, telat.
            Eh rupa-rupanya bener. The King of Norak dateng telat. Otomatis rona-rona muka si Karra udah ga gusar lagi dong, haha. Tapi ada apa coba sama Karra? Kenapa juga dia mesti gusar gitu gara-gara The King of Norak itu?

“ Kenapa ya ini gue aneh pagi-pagi. Dari awal masuk ini ruangan, yang gue cari langsung si Wira. Jadi ga tenang gitu gue nunggu Wira ga dateng-dateng. Pas udah dateng, baru gue tenang. Kenapa oh kenapa ini oh? “

            Kuliah pun usai sudah dan ternyata sedaritadi kertas absen belum beredar. Oyaampun, mulai deh ritual tambahan, berebutan ngisi absen. Otomatis itu orang-orang berdesak-desakan berebut ngisi absen, kenapa ga bisa ngantri sih itu orang-orang, heran. Karra pun ternyata tergolong gerombolan anti-ngantri itu. Tanpa sadar, di depan Karra pas giliran Wira ngisi absen. Jadinya keliatan lah itu nama lengkap, alamat, NRP (semacam nomor induk mahasiswa), plus kelas Wira. Jeng jeng, Wira sekelas sama Karra lagi tu nanti ternyata, haha.

“ Apaaaa? Sekelas lagi? Oyaampun, kejamnya dunia. Gimana bisa ini gimana bisa. Gue ga mau suka, ga jadi suka, ga suka pokonya ga mau, ga mau suka sama Wiraaaaa.”

*****

            The month is coming! Saatnya MABA (Mahasiswa/mahasiswi baru) SNMPTN tiba. Kok bisa ada MABA lagi? Jadi begini, sistem kampus hijau nan permai itu memang agak beda. MABA diterima lewat jalur yang beda-beda. Karra, Septi, dkk diterima lewat jalur undangan, semacam PMDK gitu. Ada juga yang diterima lewat jalur SNMPTN. Nanti ada juga yang diterima lewat jalur mandiri gitu, yang bakal masuk bareng MABA   SNMPTN juga. Nah, MABA yang masuk jalur undangan itu mulai kuliah duluan. Selama sebulan, mereka belajar satu matakuliah SMA. Kok SMA? Di kampus hijau nan permai itu memang menerapkan sistem seperti itu. Selama semester I dan II nanti semua mahasiswa belajar lagi pelajaran-pelajaran SMA, tapi agak beda sama pelajaran waktu SMA dulu, jadi semacam SMA lanjut gitu deh. Nah nanti mulai semester III, baru deh mereka dipisah sesuai dengan fakultas mereka masing-masing. Satu lagi, selama satu tahun (berarti selama semester I dan II) para MABA diwajibkan tinggal di asrama. Seperti itulah kira-kira.
            Dengan hadirnya MABA SNMPTN dan MABA jalur mandiri, berarti kamar Karra dan Septi bakal kedatangan penghuni baru. Pagi itu, Karra dan Septi sedang asik bersenda gurau di kamar mereka. Secara kuliah sebulan mereka usai sudah, ya jadinya mereka free pagi itu. Tiba-tiba suara ketukan pintu menghentikan senda gurau mereka. Septi pun segera membukakan pintu.
Tita: “ Assalamualaikum. Hai. “
Karra dan Septi: “ Waalaikumsalam. “
Tita: “ Salam kenal, gue Astita Saranadya. Panggil aja Tita, hehe. “
Karra: “Akhirnya datang juga, haha. Salam kenal juga. Gue Karra Zweta Airin. Panggil aja Karra ya, hehe. “
Tita: “ Oke, hehe.”
Septi: “ Gue Septia Inggrida. Panggil aja Septi. Oia lu orang mana, ta? “
Tita: “ Oke. Gue orang sini kok, hehe. “
Septi: “ Sama dong kayak gue berarti, haha. “
Karra: “ Yah, gue beda sendiri dong. “
Tita: “ Emang lu dari mana, Ra? “
Karra: “ Dari Jakarta sih, hehe. “
Tita: “ Itu mah deket atuh. Mau pulang juga gampang, hehe. “
Septi: “ Si Karra mah emang kerjaannya pulang mulu, haha. “
Karra: “ Ahahaha. “
            Obrolan singkat itu akhirnya ditutup dengan dimulainya acara beres-beres kamar. Karena tempat tidur Karra dan Septi di atas, jadinya tempat tidur Tita yang di bawah deh.

*****
           
            Malam itu lagi-lagi ga seperti malam-malam sebelumnya yang terbilang sepi. Dengan adanya Tita, suasana kamar Karra dan Septi jadi lebih hidup. Kehadiran orang-orang baru di kamar lain juga membuat suasana asrama jadi lebih hidup. Sambil duduk melingkar di tengah-tengah kamar, Karra, Septi dan Tita nampak asik bercengkrama, bersenda gurau hingga bergosip ria. Obrolan semakin seru ketika mereka masing-masing menunjukkan Buta alias Buku Tahunan SMA mereka dan saling bertukar melihat-lihat Buta itu. Karra megang Buta nya Tita, Septi megang Buta nya Karra, sementara Tita megang Buta nya Septi. Lalu, apa yang bikin semakin seru ya? Karena tiba-tiba, jeblak! Muka Karra berubah jadi kaget sekaget-kagetnya. Itu di Buta nya Tita ada si The King of Norak? Sambil melihat-lihat Buta, obrolan pun berlanjut.
Tita: “ Ngomong-ngomong, kalian dapet kelas apa nanti? Gue di Y-a. ”
Karra: “ Gue di Y-b.”
Septi: “ Gue X-b. Eh berarti nanti kalian sekelas besar dong, Ra, Ta. “
Tita: “ Sekelas besar? “
Septi: “ Iya nanti bakal ada kuliah kelas besar. Jadi kayak kalian tu kelas Y-a sama Y-b digabung. Gue juga nanti sama kelas X-a berarti. “
Karra: “ Kuliah kelas kecil juga ada. Itu yang sekelas sama lu di Y-b, Ta. “
Tita : “ Oh gitu, kita bisa berangkat  bareng dong, Ra.”
Karra: “ Iya, tapi ga bisa bareng Septi lagi, huhu. “
Septi: “ Iya Ra, kali ini kita berpisah, huhu. “
Tita: “ Cup cup cup. “
            Malam semakin larut. Mereka pun pergi tidur karena besok perkuliahan semester pertama akan dimulai. Dengan hadirnya Tita, apakah Karra akan tetap jadi ter-bangun paling terakhir? 

- to be continued -


In The Lift, We First Meet (2)


Elektroda Positif


Malam itu suasana cukup hening. Kamar Karra dan Septi masih nampak seperti sedia kala, indah, bersih, rapih, dan mewangi. Di meja belajar berpelitur cokelat kekuningan, Karra dan Septi sedang asyik membuat raker alias rancangan kerja untuk praktikum besok. Obrolan santai selagi beraker-raker ria pun dimulai
Septi: “ Besok praktikum lu yang mana, Ra? “
Karra: “ Tau nih gaje, elektroda-elektroda begitu. Lu udah belum yang ini? “
Septi: “ Belum, tuh. Besok gue yang uji-uji senyawa organik gitu.”
Karra: “ Hoh. Kita beda ruang praktikum sih ya.”
Septi: “ Iya, ruangan lu aspraknya enak-enak, nah gue? Ngasih soal kuis susah-susah bener. ”
Karra: “ Ahahah, tapi asprak di gue suka ga jelas ngejelasin materi praktikumnya, sama aja. ”
Septi: “ Iya sih, ga ada yang bener, haha. “
Karra: “ Eh, Sep. Kalo kita kan udah jelas-jelas ga sekelas lagi ya bulan depan. Lu uda tau temen-temen sekelas lu  nanti siapa aja? ”
Septi: “ Tau sih beberapa, nama-namanya, dari absen, haha.”
Karra: “ Hoh, liat di absen ya.”
Septi: “ Lagian juga yang seruang praktikum sama lu itu kemungkinan ya nanti temen-temen sekelas lu, Ra. Tanyain aja satu-satu mereka kelas apa, haha. “
Karra: “ Hoh begitu ya. “
Septi: “ Kenapa sih emangnya, Ra? Tiba-tiba lu ngomongin begituan. “
Karra: “ Ga kenapa-kenapa sih. Cuma pengen tau duluan aja temen-temen sekelas gue nanti yang mana aja, hehe. “
Septi: “ Hoh gitu. Hoaaaaam. “ [ngantuk]
            Malam semakin larut, rasa kantuk Karra dan Septi mulai mengalahkan keasyikan beraker-raker ria. Raker Septi sih udah selesai, tapi Karra? Belum. Akhirnya mereka berdua pun tertidur lelap di kerajaan tidur masing-masing. Raker Karra? Sepertinya akan dilanjutkan besok pagi. Karra dan Septi sama-sama menempati tempat tidur atas. Kamar itu cukup lumayan ga sempit sih untuk empat orang, berisi dua tempat tidur tingkat dengan empat meja belajar serta empat lemari pakaian. Sementara, kamar itu masih terisi tiga orang yaitu Karra, Septi, dan satu orang lagi yang sepertinya tidak berminat menghabiskan hari-harinya di asrama. Lalu, siapakah satu orang lagi penghuni berikutnya? Akan terjawab bulan depan.

*****

            Keesokan paginya, seperti biasa, lagi-lagi Septi bangun lebih pagi. Karra? Jangan ditanya lagi ya. Padahal raker Karra belum selesai loh semalem. Tapi gatau ada angin apa pagi itu, Karra tiba-tiba bangun, terus ngelanjutin rakernya deh, what a nice girl. Mulai praktikum juga masih lumayan lama sih, ga pagi-pagi buta juga, jadi Karra bisa sedikit santai lah. Dalam hitungan menit, raker Karra pun selesai dan Septi nampaknya sudah segar bugar setelah mandi. Giliran Karra yang mandi dan siap-siap berangkat ke tempat praktikum deh bareng Septi.
            Setibanya di depan ruang praktikum, seperti biasa pelataran tempat-tempat duduk di depan ruang praktikum udah penuh aja sama orang-orang yang terlihat canggih bener pada buka-buka buku, eh baca-baca deh itu. Yaiyalah, secara sebelum mulai praktikum kan dikasih kuis dulu sama asisten praktikumnya. Apa si Karra udah belajar buat kuis tu semalem? Kalo si Septi sih kayaknya udah. Liat aja lah ya nanti gimana nasib Karra, haha.
            Asisten Praktikum nampaknya sudah berdatangan dan mulai mengabsen orang-orang itu satu per satu sebelum memasuki ruang praktikum. Karra dan Septi pun berpisah. Secara ya ruang praktikum mereka juga beda.
Kak Asprak: “ Rahma Andini Putri! “
Rahma: “ Iya Kak, saya-saya.”
Kak Asprak: “ Arya Pratama! “
Arya: [Diem, ngangkat tangan, langsung masuk]
Kak Asprak: “ Wiratama Putra Ditya! “
Wira: “ Hadir, Kak, hehe. “
Kak Asprak: “ Safita Ranaya! “
Safi: “ Iya Kak.”
Kak Asprak: “ Anugrah Akbar! “
Akbar: “ Sip, Kak. “
Kak Asprak: “ Bima Anggara! “
Bima: “ Oke, Kak. “
Kak Asprak: “ Hania Zahira! “
Hani: “ Iya Kak.”
Kak Asprak: “ Karra Zweta Airin! “
Karra: “ Saya, Kak. “
            Ritual mengabsen itu pun terus berlanjut sampai berpuluh-puluh orang itu terabsen dan semua sudah memasuki ruang praktikum. Karra memperhatikan satu per satu dari mereka yang kemungkinan bakal sekelas lagi. Perhatian pertama Karra pun langsung tertuju ke siapa lagi kalo bukan The King of Norak itu yang kemudian tiba-tiba tertuju ke sesosok cowo yang sok cool banget sih itu, Arya. Apa mungkin si Karra and The King of Norak itu bakalan sekelas lagi nanti? Dan bagaimana pula dengan si cowo sok cool itu? Akan terjawab bulan depan.
            Ritual mengabsen pun selesai. Selanjutnya, ritual satu lagi sebelum praktikum dimulai, ritual kuis. Ternyata Karra uda lumayan sambil belajar loh waktu ngerjain raker semalem, what a nice girl. Jadinya ya itu soal-soal kuis berasa susah-susah gampang lah buat Karra, haha. Ritual praktikum yang utama pun dimulai. Orang-orang dalam ruangan itu dibagi dalam beberapa kelompok. Untungnya si Karra ga sekelompok sama The King of Norak itu, tapi meja kelompok mereka berseberangan. Posisi duduk Karra kali itu juga ga mendukung banget. Karra duduk paling pinggir dan di seberangnya pas banget duduklah si The King of Norak itu. Kalo begitu ceritanya bisa-bisa ga sengaja saling tatap-tatapan lagi mereka, yaelah. Tapi untungnya lagi, di sepanjang meja-meja praktikum ada rak-rak tempat alat-alat dan bahan-bahan praktikum gitu. Lumayan lah ya buat penghalang kalo-kalo ketidaksengajaan tatap-tatapan mereka berdua terjadi lagi.
            Menit demi menit berlalu. Praktikum berjalan mulus-mulus saja sedaritadi. Namun, tidak demikian dengan Karra yang nampak asik mengutak-atik elektroda-elektroda karbon dalam larutan dan dengan seriusnya memperhatikan nyala lampu-lampu dan gelembung-gelembung kecil yang dihasilkan. Tiba-tiba terjadi sesuatu. Larutan dalam labu erlenmeyer nya ga cukup. Jadinya ujung elektroda karbon itu ga bisa nyentuh larutan deh. Mana bisa ngamatin nyala lampunya kalo begitu ceritanya. Secara, larutan itu yang bikin elektroda karbonnya bisa nyalain lampu.
Karra: “ Yaaaaah, larutannya abis. Ada sisa larutan ini lagi ga kak? “
Kak Asprak: “ Sebentar ya. Coba kakak cari dulu disana. “
            Sambil menunggu, Karra duduk termangu sambil tetap memegangi labu erlenmeyer berisi larutan seperempat penuh itu. Ternyata ya, sedaritadi Karra tu ga sendirian. Di sebelah Karra berdiri seorang cowo yang sedaritadi memperhatikan dengan seksama prosesi celup nyala celup nyala itu. Karena sedaritadi Karra duduk dan tu cowo berdiri dan notabenenya itu cowo tinggi, ya otomatis Karra ga nyadar keberadaan tu cowo. Karra juga lagi sibuk kan ngurusin elektroda-elektrodanya. Jadinya Karra baru sadar sekarang dan tiba-tiba, jeblak! Ada sesosok telapak tangan yang tiba-tiba memegangi ujung labu erlenmeyer Karra.
Wira: [memiringkan labu erlenmeyer sampe elektroda karbonnya bisa tercelup ke larutan]
Karra: [melepas labu Erlenmeyer nya lalu mendongakkan kepala ke atas dengan muka cengo]
Wira: “ Sip, nyala. “
Karra: [ngangguk-ngangguk dengan muka tetap cengo]
Wira: “ Ini uda bisa kok, Kak. “
            Oyaampun, apa emang dasar si Karra yang agak-agak sampe-sampe ga kepikiran cara kayak begitu atau emang dasar si The King of Norak itu yang ternyata walaupun norak tapi canggih juga rupa-rupanya. Dan sekarang keliatannya muka Karra yang sedaritadi masih cengo tiba-tiba berubah jadi malu gitu, haha. Karra pun bergumam dalam hati.

“ Lagi-lagi si cowo norak ini. Ga ada kerjaan apa dia, maen-maen ke kelompok orang. Eh tapi bukan salah dia juga sih. Emang sama kakaknya disuruh perhatiin kelompok lain kok, karena kan bagi-bagi tugas, jadinya tiap kelompok beda. Tapi ya tetep aja kenapa mesti cowo norak ini. Yaudah lah, peduli amat deh, bukan urusan gue juga. Hmmm. Tapi tadi pas ngedongakin kepala ke atas terus nyadar itu dia, kok gue ngerasa…??? Ada yang aneh. Kok gue deg-degan ya. Apa mungkiiiin? Perasaan gue dari kemarin itu ternyata positif se positif nyala lampu elektroda ini? Gue positif suka sama Wira??? “

Mungkin Karra ga abis pikir sama apa yang akhir-akhir ini dia alamin semenjak menginjakkan kaki di kampus hijau nan permai itu. Si The King of Norak itu kali ini mulai menganggu pikiran Karra. Masa iya Karra suka sama itu cowo norak, kenal pun enggak. Karra juga gatau tu cowo asalnya darimana, jurusan apa, hobinya apa, cita-cita nya apa, uda punya pacar apa belum, uda punya anak apa belum, ga kenal deh intinya, cuma sekedar tau nama. Seketika Karra jadi penasaran, mulai deh penyakit penasaran Karra kambuh. 


- to be continued -

Buah Kernatu


Apa Itu Buah Kernatu?






Apakah anda pernah memakan atau melihat buah satu ini? Ya, inilah buah kernatu yang lebih dikenal sebagai sawo putih atau sawo susu. Di daerah Malang, Jawa Timur, sawo putih atau sawo susu ini dikenal dengan nama buah kernatu. Semasa kecil saya di Malang, saya gemar memakan buah kernatu ini. Secara fisik, buah ini memang terlihat seperti sawo dari segi bentuk maupun ukuran, hanya saja warna kulitnya yang berbeda, yaitu hijau muda. Rasa buah ini manis seperti susu dengan tekstur daging buah yang lebih lembut dibandingkan dengan sawo biasa. Biji buah ini berwarna hitam berbentuk mirip dengan biji sawo biasa. Di daerah Malang dan sekitarnya, buah ini banyak diperjualbelikan di pasaran. Di perkotaan besar, khususnya Jakarta, buah ini nampaknya tidak pernah diperjualbelikan ataupun dikonsumsi. Semenjak saya pindah ke Jakarta, saya sama sekali tidak pernah memakan buah ini lagi karena memang tidak ada yang menjual buah ini. Namun, beberapa waktu lalu, saya sungguh takjub ketika menemukan buah ini di Jakarta. Saya tidak menemukannya di pasar atau tukang buah, tetapi saya menemukan pohonnya di pinggir jalan dekat kali. Pohon buah ini nampaknya tidak berpemilik. Kabarnya, pohon tersebut sudah sejak lama ditanam pemerintah di daerah itu dalam rangka penghijauan. Sungguh ironis melihat buah-buah kernatu yang sudah matang itu bergelantungan tanpa ada warga sekitar yang tahu bahwa buah itu dapat dikonsumsi. Bahkan, buah yang sudah jatuh pun tidak dipedulikan. Budidaya buah kernatu ini terutama di kota-kota besar, perlu ditingkatkan karena buah ini cukup berpotensi tidak hanya sebagai potensi pangan lokal tetapi juga potensi ekonomi. Bagi anda yang belum pernah merasakan kelezatan buah kernatu ini, silakan mencoba! :) 

In The Lift, We First Meet (1)


The King Of Norak


Alkisah dua setengah tahun lalu, di suatu kampus yang hijau permai bersih nan asri mewangi, bergerumunlah para mahasiswa-mahasiswi baru yang tampak semangat-semangatnya memulai dunia baru mereka. Namun tidak untuk sebagian kecil atau mungkin sebagian besar mahasiswa/mahasiswi nya pada hari itu.
Suatu malam di salah satu asrama, di sebuah kamar yang sangat indah, tertata rapih, bersih, dan mewangi, hiduplah dua sejoli, Karra dan Septi, yang ditakdirkan untuk berbagi kamar berdua. Malam itu Karra dan Septi dikagetkan oleh suatu kabar burung (asli) yang tentunya mengagetkan.
Karra: “ Apaaaaa? Ruang kuliah penggantinya jauh bangeeeet, pagi-pagi buta lagi. Deuh malesin banget ga sih, Sep?”
Septi: “ Huhu iya gue juga males. Kita kesana gimana ya? Kan belom ada bis pagi-pagi buta begitu.”
Karra: “ Yah, terpaksa deh, jaki (jalan kaki).”
Septi: “ Huhu, iya, jauh banget lagi dari sini. Bangun pagi lu besok, jangan kebo, haha. ”
Karra: “ Iya. Kalo ga bangun-bangun  juga siram aja gue, haha.”
Septi: “ Ahahahah okelah.”

*****

Keesokan paginya, seperti biasa, Septi bangun lebih dulu dibanding Karra. Lalu Karra? Jangan ditanya. Karra tentunya masih menggeliat-geliat di kasur empuk berselimutkan seprei orange cerah bergambar jerapah lucu itu. Dengan muka bantalnya, Karra terpaksa terbangun karena suara jam beker alami dari Septi.
Septi: “ Karraaaa banguuuun! Gue uda siap-siap mau mandi nih.”
Karra: “ Apa hoam. Iyaaaa bentar masih ngantuk.”
Septi: “ Buru gih, ntar keburu banyak yang ngantri loh.”
Karra: “ Iya Sep, lu mandi gih sana. Ntar gue abis lu. Take in ya, haha.”
Septi: “ Ye dasar Karra. Jangan lama-lama lu mandi.”
Karra: “ Iya Septiku. Lu kayak gatau aja mandi gue kayak gimana, haha.”
Septi: “ Awas lu kalo gue udah selesai mandi, lu ga bangun-bangun juga. Gue siram lu, haha.”
Karra: “ Iyaiya, hoam.”
Setengah jam kemudian, di jalan kampus nan bersih dan tertata rapih, Karra dan Septi nampak bersemangat sekali (terpaksa) menuju tempat kuliah dengan berjalan kaki, tentunya. Jalan itu sungguh mulus (dalam arti konotatif) hingga tiba-tiba muncul lah suatu halang rintang yang membuat jalanan itu tidak mulus lagi.
Septi: “ Ra, cepet-cepet yuk jalannya. Udah jam segini.”
Karra: “ Iya ni daritadi juga kan udah cepet-cepet Sep. Sampe  ngos-ngosan gue, hoah.”
Septi: “ Ra, ra, ra, raaaa.”
Karra: “ Apaan Sep, sep, sep? ”
Septi: “ Ada anjing noh, Ra, di seberang. Hoaaa.”
Karra: ” Hoh iyaaa, tu anjing liat-liat kesini lagi. Hoaaa nyamperiiiiin kitaaaa Sep.”
Septi: “ Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Raaaaaaaaa.”
Karra: “ Hoaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.”
Alhasil, Septi dan Karra pun lari sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya, setiba-tibanya di ruang kuliah. Secara ya tu anjing ngejar-ngejar, coba diem aja tu anjing, ga bakal lari-lari lah mereka. Tapi ya secara juga mereka lari duluan, ya gimana tu anjing ga ngejar-ngejar ngeliat mereka lari. Jadi serba salah kan, haha.

*****

Setibanya di depan ruang kuliah yang notabene nya tinggi banget. Maksudnya, tu ruang kuliah ada di lantai paling atas dan cuma bisa diakses pake tangga. Secara lift satu-satunya yang katanya gaul itu belum beroperasi pagi-pagi buta begitu. Oyaampun, gimana ga makin ngos-ngosan tu anak dua, haha.
Karra: “ Yaaah, pintunya masih dikunci, Sep.”
Septi: “ Oyaampun. Gatau apa perjuangan kita ke sini. Ternyataaa.”
Karra: “ Dan ternyata juga, kita yang pertama dateng, Sep.”
Septi: “ Demi? Duduk dulu lah sini, Ra. Ngaso.”
Beberapa menit kemudian, murid-murid lainnya pun satu per satu mulai bermunculan. Dan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga, bapak pemegang kunci! Haha. Itu  ruangan ternyata kecil dan muridnya banyak, ya jadinya pada berebutan tempat duduk deh. Alhasil, Karra dan Septi dapet tempat duduk di belakang. Padahal mereka dateng paling awal.

*****

Dua jam penderitaan akhirnya usai sudah. Gimana ga menderita. Orang-orang yang dapet duduk di belakang kasihan banget loh. Udah tulisan slidenya kecil-kecil ngeblur, suara dosennya kecil pula, tapi yang bikin kesel ya orang-orang yang pada duduk di depan itu ga kecil malah pada gede-gede. Makin menderita lah mereka yang termasuk geng terduduk di belakang, haha.
Karra: “ Hoah akhirnyaaaa. Jadi ngantuk lagi gue tadi. Apaan coba kuliah begitu ceritanya.”
Septi: “ Huhu, gue juga. Uda dateng paling pagi plus olahraga pagi (dikejar-kejar anjing) eh malah-malah.”
Karra: “ Yaudah lah ya. Yang penting sekarang selesai. Bisa balik naek bis kan jam segini, haha.”
Septi: “ Eh Ra, turunnya naek lift aja yuk. Kita kan ga bisa nyobain itu tadi, haha.”
Karra: “ Ahaha, yuk yuk.”
Entah, mungkin karena masih murid baru kali ya, jadi pada banyak juga yang penasaran pengen nyobain itu lift. Secara, aset mewah itu cuma satu-satunya disitu, di tempat lain di kampus ga ada. Norak ya tu murid-murid dan mungkin Karra dan Septi bakal terlibat kenorakan itu juga, haha.
Karra: “ Hoaaaa sep, itu kebuka pintu lift nya, tapi uda banyak yang masuk.”
Septi: “ Eh itu masih ada tempat, Ra, muat kok tu kayaknya. Yuk buru.”
Karra dan Septi pun akhirnya mendapatkan tempat yang cukup layak di dalam lift itu, di pojokan kanan deket pintu, eh pojokan kiri deh, eh itu sih tergantung sudut pandang orang yang ngeliat ya, haha. Pintu lift baru mulai menutup dan tiba-tiba, jeblak! Karra dan Septi yang ada di barisan terdepan lift spontan kaget dan orang-orang di dalam lift itu juga mungkin sebagian besar cukup kaget, kaget lah ya. Diiringi seruan segerombol orang di luar lift, lalu muncullah sesosok lelaki, eh cowo maksudnya, yang berhasil memasuki lift di antara dua ujung pintu lift yang baru akan mulai menutup itu.
Segerombol orang: “ Ra, ngapain lu nyempil-nyempil disitu? Uda penuh itu, pake tangga aja. “
Wira: “ Muat kok. Gue mau nyobain naek lift. Daaa, haha.”
            Dan akhirnya pintu lift pun menutup dengan sempurna. Segerombolan geng lift norak itu pun makin kaget. Secara ya itu bocah cowo sendiri di dalem lift di antara cewe-cewe. Bertambahlah satu lagi anggota geng lift norak, mungkin boleh lah ya tu cowo dibilang The King of Norak saking obsesinya naek lift. Dilihat dari posisi tempat berdiri tu cowo di dalem lift, kayanya ga menguntungkan deh buat Karra atau justru menguntungkan?
            Tadinya tempat Karra dan  Septi  tuh udah layak ya, eh tiba-tiba jadi ga layak gara-gara kehadiran itu cowo. Septi masih mending, nah Karra? Gimana mau layak buat Karra. Itu cowo pas banget di depan Karra dengan jarak yang oyaampun itu deket ya, ada kali setengah panjang penggaris buffalo 30 cm. Ditambah lagi saling hadap-hadapan pula mereka. Karra diem mematung ga bisa berkutik dong jadinya, salah gerak dikit bisa-bisa berabe, haha. Untungnya tu cowo lebih tinggi dari Karra, jadi ga muka pas muka ya, haha. Karra jadi penasaran pengen ngeliat jelas muka The King of Norak itu. Karra pun mendongakkan kepalanya sedikit, lalu? Tanpa sengaja mata kedua anak adam dan hawa itu saling bertemu. Karra spontan kaget lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Demi, Karra pun bergumam dalam hati.

“ Oyaampun ini cowo sumpah norak banget. Dia kira ini lift cuma jalan sekali apa terus bakal ga jalan lagi selama-lamanya. Nunggu abis ini kan bisa kali, menuh-menuhin aja, bikin sempit, huh. Udah pake acara sinetron segala  tiba-tiba nyusup ke dalem lift yang jelas-jelas uda mau nutup (misal kalo di sinetron nih ya, adegan kayak gini ini terjadi ketika tiba-tiba  nemuin pujaan hati yang uda lama ngilang terus akhirnya dipertemukan kembali di dalam lift dan sayang sekali lift nya uda mau nutup jadi terpaksa menembus pintu lift yang hampir tertutup itu, demi cinta, sekian). Tapi ini keadaan kan normal-normal aja, ga ada syuting sinetron disini woi. Berarti emang tu cowo yang agak-agak. Eh tapi kenapa juga gue mesti sewot begini, kenal juga enggak, nanti juga belum tentu sekelas lagi. Hmmm.  Tapi tadi pas tatap-tatapan, kok gue ngerasaaaa … ???  aneh.“

-to be continued-

Homey Home Me

Type of 45/80

This is my first home design and this is the original one, make up your sight! :)


Specification

  • First Floor
    • Carpot : 4x5 m2
    • Front Park: 2.5x4 m2
    • Terrace: 1.5x4 m2
    • Guest room: 3x4 m2
    • Dining room + kitchen: 13.75 m2
    • Bedroom: 3x4 m2 with bathroom: 2x2 m2
    • Bathroom: 1.5x1.5 m2
  • Second Floor
    • Living room: 2x3.5 m2
    • Bedroom: 2x3 m2
    • Bathroom: 1.5x2 m2
    • Laundry: 1x2 m2 and drying: 1.5x2 m2

Supported by Sweet Home 3D Software 
Sponsored by Acer Aspire One Happy

Kala Hujan

Kala itu hujan turun lebat
Angin pun tak henti-hentinya berhembus
Ku duduk sendiri merenung
Di balik jendela kamar lantai dua
Ku saksikan hujan itu dengan seksama
Ya hujan itu tidak hanya memberi kesejukan
Tapi juga ketenangan

Entah atau mungkin kekesalan
Karena hujan itu membasahi berbaris jemuran yang tak berdosa
Pepohonan tak mampu berdiri kokoh
Diguncangkan angin yang berhembus kencang
Bau tanah becek terguyur hujan pun semerbak menusuk

Itulah yang kulihat selama hampir satu jam
Hujan itu sederhana
Ia hanya jatuh dari langit
Tapi apakah kau tau proses terbentuk hujan itu
Sungguh cukup memakan waktu
Hujan itu membawa berkah
Tapi apakah kau tau jika hujan murka
Sungguh membawa bencana

Oh hujan




Hujan @26052010 @A183




Other Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

About Me

Followers